Catatan Perjalanan :
Sekali Menginjak Gas, Delapan Negara
Bagian Terlampaui
Jumat, 21
April 2000, jam 21:15, pesawat yang kami tumpangi dari New
Orleans mendarat di bandar udara internasional Salt Lake City,
setelah menempuh perjalanan selama 3,5 jam. Baru sekitar jam
22:00 malam saya meninggalkan bandara, dengan menggunakan mobil
yang saya sewa di bandara langsung menuju ke hotel yang
sebelumnya sudah saya pesan.
Sejak masih di
New Orleans saya sudah membuka-buka peta kota Salt Lake City,
jalan mana yang harus saya ambil dari bandara menuju hotel,
dengan maksud agar nantinya saya tidak bingung. Rupanya karena
tiba di Salt Lake City sudah cukup malam, hal ini membuat saya
tidak terlampau jeli memperhatikan tanda-tanda petunjuk jalan.
Akibatnya saya kebablasan cukup jauh dari jalan dimana seharusnya
saya belok sekeluarnya dari bandara. Menyadari hal ini, lalu saya
putuskan untuk berhenti dulu melihat kembali pada peta. Tapi
untuk berhenti saya tentunya harus tahu berhentinya di mana,
sehingga bisa dipakai sebagai patokan saat melihat peta.
Tempat paling
baik untuk berhenti adalah di stasiun pompa bensin. Selain
tempatnya terang, biasanya berlokasi di sudut persimpangan jalan.
Paling tidak saya akan bisa tahu saat itu berada di persimpangan
antara jalan apa dan apa. Atau sebingung-bingungnya, saya akan
bisa tanya kepada si penjual bensin. Ternyata untuk menentukan
lokasi saya saat itu di peta juga tidak mudah, saya perlu
mengingat ancar-ancarnya dari bandara tadi bergerak ke arah mana
lalu belok ke mana.
Saat itulah,
tiba-tiba saya ingat : Saya perlu kompas. Ya, alat
navigasi ini banyak sekali membantu saat melakukan traveling.
Saya membutuhkan kompas karena mobil yang saya sewa tidak
dilengkapi dengan alat navigasi sederhana ini.
Saya punya
kebiasaan kemana-mana selalu membawa kompas kecil. Kalaupun tidak
saya gunakan untuk menentukan arah jalan, minimal akan membantu
saya menentukan arah kiblat. Dulu saya punya kompas kecil yang
seperti mainan yang menghiasi tali plastik hitam jam tangan saya.
Membelinya di Jalan Malioboro Yogya seharga Rp 2.500,-.
Sejak saya beli
lima tahun yang lalu hingga sekarang belum rusak, masih saya
simpan dengan baik. Tapi sejak setahun yang lalu tidak saya pakai
lagi, karena jam saya habis batereinya dan belum sempat
membawanya ke tukang jam di New Orleans. Sebagai gantinya
sekarang saya punya gantungan kunci yang ada kompas kecilnya, dan
kemana-mana selalu saya bawa.
Ternyata kompas
mainan saya ini sangat membantu dalam situasi kesasar seperti
yang sedang saya hadapi. Maka dengan bantuan kompas, kemudian
dengan mudah saya merekonstruksi tadi bergerak ke arah mana dan
harus kembali ke arah mana. Dengan mudah pula saya menentukan
lokasi saya di peta dengan berpedoman pada nama persimpangan
jalan di mana saya berhenti.
Punya sedikit
pengetahuan tentang membaca kompas dan peta memang perlu. Untung
saya dulu sejak SD hingga SMA pernah ikut Pramuka di kota asal
saya. Mencari jejak adalah jenis kegiatan yang saya sukai. Saya
juga masih ingat pelajaran Ilmu Ukur Tanah di tahun kedua kuliah
dulu. Makanya kalau sekedar untuk urusan membaca peta dan kompas,
rasanya saya tidak akan kesulitan.
***
Saya berbalik
arah, menuju ke jalur semula. Cara penamaan jalan-jalan di Salt
Lake City pada awalnya membuat saya agak bingung. Sistem
jalan-jalan di Salt Lake City umumnya ditulis dalam nomor blok
dan arahnya terhadap jalan utama yang dijadikan sebagai patokan.
Seperti misalnya 1500 W (blok 1500 ke arah barat), atau 500 E
(blok 500 ke arah Timur). Ada juga digunakan cara biasa yaitu
setiap jalan diberi nama sebagaimana jalan-jalan di Indonesia.
Sialnya, pada
malam itu yang nampak bisa saya jadikan pedoman adalah nama-nama
jalan yang ditulis dengan nomor blok dan arah saja. Ini sempat
menyulitkan. Akibatnya, setelah kebablasan ke barat, lalu ganti
kebablasan ke timur. Lalu akhirnya ya baru paham setelah berhasil
mengidentifikasi kemana arah membesar dan mengecilnya nomor blok
serta arahnya.
Sebenarnya system
jalan di Salt Lake City ini masih lebih mudah dibanding ketika
saya jalan-jalan ke kota Miami (di negara bagian Florida) tahun
lalu. Di sana system jalan-jalannya dibagi dalam empat grid
berdasarkan arah mata angin yang tidak lazim menurut ukuran saya,
yaitu arah timur laut, barat laut, barat daya dan tenggara, yang
disertai dengan nomor bloknya.
Bagi yang sudah
terbiasa dengan sebutan arah mata angin dalam bahasa Inggris
barangkali tidak menjadi masalah. Tapi bagi pendatang baru
seperti saya, setiap saat mesti berpikir dua kali; pertama
membayangkan dulu setiap kali disebutkan arah North-West,
South-West, dsb., baru kemudian memahami lokasi dan arah
jalannya.
***
Akhirnya baru
sekitar jam 23:30, menjelang tengah malam saya tiba di hotel.
Padahal lokasi sebenarnya tidak terlalu jauh dari bandara. Ya
karena kurang jeli memperhatikan petunjuk jalan di saat hari
sudah gelap, sehingga salah jalan.
Anak-anakpun sudah pada nyenyak tidur di
mobil. Kok lama sekali sampainya?, kata mereka saat
tiba di hotel. Iya, kita salah jalan, jawab saya
maklum atas pertanyaan anak-anak saya. Tentu mereka belum paham
apa artinya salah jalan di tempat yang masih asing.- (Bersambung)
Yusuf Iskandar